Beranda | Artikel
Persaingan yang Mulia
Kamis, 9 Juni 2022

PERSAINGAN YANG MULIA

Bukan sesuatu yang aneh bahwa seseorang melebihi saudaranya dalam bidang ilmu pengetahuan, atau keahlian, atau berbagai sektor lainnya dalam kehidupan. Sebagaimana bukan termasuk perbuatan tercela bahwa yang rendah berusaha menyusul yang lebih tinggi dan mengerahkan segenap kemampuannya untuk melebihinya, dalam batas mengharapkan ridha Allah Subhanahu wa Ta’ala, dan selamat dari penyakit sombong, ujub dan riya’, dan dengan  bersihnya perasaan hati dan sucinya hubungan persaudaraan. Dengan standar netral, adil dalam penilaian untuk diri sendiri dan orang lain, di mana semua itu membawa hasil untuk merealisasikan kepentingan Islam yang tinggi, jauh dari hawa nafsu.

Ketika persaingan yang mulia menjadi pendorong beribadah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, menjadi jalan untuk mengarahkan pandangan kepada amal-amal kebaikan, yang memancarkan persaingan sebagai tambahan kebaikan untuk individu dan masyarakat, sehingga individu dari umat ini selalu menoleh kepada yang lebih tinggi, dan bagaimana ia ridha dengan yang lebih rendah?…Dan dialah yang ingin agar Allah Subhanahu wa Ta’ala menjadikannya sebagai imam bagi orang-orang yang bertaqwa. Dia yang mengintai kepada surga Firdaus yang paling tinggi, bersama pada nabi, para syuhada, dan orang-orang shalih. Dan dia yang mengharapkan agar menjadi orang yang terdahulu dengan kebaikan:

أُوْلَئِكَ يُسَارِعُونَ فِي الْخَيْرَاتِ وَهُمْ لَهَا سَابِقُونَ

mereka itu bersegera untuk mendapat kebaikan-kebaikan, dan merekalah orang-orang yang segera memperolehnya. [Al-Mukminun/23:61]

فَاسْتَبِقُوا الْخَيْرَاتِ

Maka berlomba-lombalah kamu (dalam membuat) kebaikan [Al-Baqarah/2:148]

خِتَامُهُ مِسْكُُ وَفيِ ذَلِكَ فَلْيَتَنَافَسِ الْمُتَنَافِسُونَ

laknya adalah kesturi; dan untuk yang demikian itu hendaknya orang berlomba-lomba. [Al-Muthaffifiin/83:26]

Di antara yang demikian itu, persaingan mulia yang terdapat dalam hadits tentang orang yang beribadah dan berinfak:

لاَحَسَدَ إِلاَّ فِى اثْنَيْنِ: رَجُلٌ عَلَّمَهُ اللهُ الْقُرْآنَ فَهُوَ يَتْلُوْهُ آنَاءَ اللَّيْلِ وَآنَاءَ النَّهَارِ, فَسَمِعَهُ جَارٌ لَهُ فَقَالَ: لَيْتَنِي أُوْتِيْتُ مِثْلَمَا أُوْتِيَ فُلاَنٌ, فَعَمِلْتُ مِثْلَمَا يَعْمَلُ. وَرَجُلٌ آتَاهُ اللهُُ مَالاً فَهُوَ يُهْلِكُهُ فِى الْحَقِّ. فَقَالَ رَجُلٌ: لَيْتَنِي أُوْتِيْتُ مِثْلَ مَا أُوْتِيَ فُلاَنٌ, فَعَمِلْتُ مِثْلَمَا يَعْمَلُ.

Tidak ada hasad kecuali dalam dua perkara: (pertama) seseorang yang Allah Subhanahu wa Ta’ala mengajarkan al-Qur`an kepadanya, dia membacanya siang dan malam hari. Lalu tetangganya mendengarnya seraya berkata, ‘Andaikan aku diberikan seperti yang diberikan kepada fulan, maka aku beramal seperti dia. Dan (kedua) laki-laki yang diberikan Allah Subhanahu wa Ta’ala harta, maka dia menggunakannya dalam kebaikan. Maka seorang laki-laki yang lain berkata, ‘Andaikan aku diberikan seperti fulan, maka aku beramal seperti ia beramal.”[1]

Ibnu Hajar rahimahullah berkata, ‘Adapun hasad yang disebutkan dalam hadits tersebut maksudnya adalah ghibthah (ingin meniru), yaitu ingin mendapatkan seperti yang diperoleh orang lain, tanpa hilangnya nikmat itu dari orang lain. Berkeinginan seperti ini disebut munafasah (persaingan), maka jika dalam perbuatan taat, maka merupakan perbuatan yang terpuji.’[2]

Di antara gambaran persaingan yang mulia adalah berlomba-lomba dalam ibadah, terkadang tidak bisa istiqamah melaksanakannya kecuali orang-orang yang terdahulu, seperti azan, shaf pertama, bersegera melaksanakan shalat, bersungguh-sungguh melaksanakan shalat isya dan shubuh berjamaah. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

لَوْ يَعْلَمُ النَّاسُ مَا فِى النِّدَاءِ وَالصَّفِّ اْلأَوَّلِ ثُمَّ لَمْ يَجِدُوْا إِلاَّ أَنْ يَسْتَهِمُوْا عَلَيْهِ لاَسْتَهَمُوْا عَلَيْهِ, وَلَوْ يَعْلَمُوْنَ مَا فِى التَّهْجِيْرِ لاَسْتَبَقُوْا إِلَيْهِ, وَلَوْ يَعْلَمُوْنَ مَا فِى الْعَتَمَةِ وَالصُّبْحِ َلأَتَوْهُمَا وَلَوْ حَبْوًا

Jikalau manusia mengetahui pahala yang ada pada azan dan shaf pertama, kemudian mereka tidak mendapatkannya kecuali dengan diundi niscaya mereka melakukan undian. Dan jikalau mereka mengetahui pahala bersegera menuju shalat tentu mereka berlomba kepadanya. Dan jikalau mereka mengetahui pahala pada shalat isya dan shubuh niscaya mereka mendatanginya sekalipun sambil merangkak.”[3]

Di antara gambaran perlombaan yang mulia dari sisi amal ibadah, persaingan dalam kebaikan yang terjadi di antara Abu Bakar Radhiyallahu anhu dan Umar Radhiyallahu anhu. Di antara hal itu adalah ketika keduanya mendengar pujian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam terhadap bacaan Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu anhu dengan sabdanya:

مَنْ سَرَّهُ أَنْ يَقْرَأَ الْقُرْآنَ غَضًّا كَمَا أُنْزِلَ فَلْيَقْرَأْهُ مِنْ ابْنِ أُمِّ عَبْدٍ

“Barangsiapa yang ingin membaca al-Qur`an murni sebagaimana diturunkan, maka hendaklah ia membacanya dari Ibnu Ummi Abd (Abdullah bin Mas’ud).”[4]

Lalu pada malam hari, Umar Radhiyallahu anhu segera berangkat untuk memberikan kabar gembira kepada Ibnu Mas’ud Radhiyallahu anhu. Maka Ibnu Mas’ud Radhiyallahu anhu berkata, ‘Apakah yang mendorongmu datang pada saat ini? Umar berkata, ‘Aku datang untuk memberikan kabar gembira kepadamu dengan ucapan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ibnu Mas’ud Radhiyallahu anhu berkata, ‘Abu Bakar Radhiyallahu anhu telah mendahuluimu.’ Umar Radhiyallahu anhu berkata, ‘Jika ia melakukan, maka sesungguhnya ia adalah jagonya berlomba dalam kebaikan. Belum pernah kami berlomba dalam kebaikan kecuali Abu Bakar telah mendahului kami kepadanya.”[5]

Gambaran seperti ini terulang kembali saat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam meminta dari pada sahabatnya untuk bersedekah. Umar Radhiyallahu anhu berkata, ‘Kebetulan aku mempunyai harta, maka aku berkata, ‘Pada hari ini aku mendahului (melebihi) Abu Bakar Radhiyallahu anhu -jika aku bisa mendahuluinya pada suatu hari- lalu aku datang dengan setengah hartaku. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya, ‘Apakah yang engkau sisakan untuk keluargamu?’ Aku menjawab, ‘Seumpamanya (sama seperti jumlah ini).’ Dan Abu Bakar Radhiyallahu anhu datang dengan semua miliknya, maka beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya, ‘Wahai Abu Bakar, apakah yang engkau sisakan untuk keluargamu? Maka ia menjawab, ‘Aku tinggalkan untuk mereka Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya.’ Saat itulah Umar Radhiyallahu anhu berkata, ‘Aku tidak bisa mendahuluinya (melebihinya) untuk selamanya.’[6]

Seperti inilah persaingan di antara sesama teman sejawat dengan rasa cinta dan hormat, bukan dengan rasa dendam dan penghinaan. Adapun persaingan yang tidak sehat (mulia), maka bermula seperti yang dijelaskan oleh an-Nawawi rahimahullah dalam syarh Muslim: ‘Para ulama berkata, ‘Persaingan kepada sesuatu adalah berlomba kepadanya dan tidak suka orang lain mengambilnya, ia adalah permulaan tingkatan sifat dengki. Adapun hasad (dengki) yaitu inginnya hilang nikmat dari orang lain).”[7] Al-Qurthubi rahimahullah menjelaskan pengertian dengki dengan ucapannya: ‘Maka yang dicela bahwa engkau mengharapkan hilangnya nikmat Allah Subhanahu wa Ta’ala dari saudaramu sesama muslim. Sama saja engkau mengharapkan agar nikmat itu kembali kepadamu… Sesungguhnya hal itu menjadi tercela karena di dalamnya mengandung menyalahkan Allah Subhanahu wa Ta’ala dan sesungguhnya Dia I memberikan nikmat kepada orang yang tidak berhak menerimanya.’[8]

Persaingan yang membawa kepada sifat dengki inilah yang dikhawatirkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam apabila sudah ditaklukkan kerajaan Persi dan Romawi, beliau bersabda:

تَتَنَافَسُوْنَ ثُمَّ تَتَحَاسَدُوْنَ ثُمَّ تَتَدَابَرُوْنَ ثُمَّ تَتَبَاغَضُوْنَ…

Kamu saling bersaing, kemudian saling mendengki, kemudian saling membelakangi, kemudian saling membenci…”[9]

Itulah yang terlarang dalam sabdanya Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

وَلاَتَحَسَّسُوْا وَلاَ تَجَسَّسُوْا وَلاَ تَنَافَسُوْا وَلاَ تَحَاسَدُوْا وَلاَ تَبَاغَضُوْا وَلاَ تَدَابَرُوْا وَكُوْنُوْا عِبَادَ اللهِ إِخْوَانًا

Janganlah kamu suka mendengar (isu, atau semisalnya), janganlah mencari-cari aib orang lain, janganlah saling bersaing (bukan dalam urusan kebaikan atau akhirat), janganlah saling mendengki, janganlah saling membenci, dan janganlah saling membelakangi, dan jadilah kamu hamba-hamba Allah Subhanahu wa Ta’ala yang bersaudara.”[10]

Dan yang paling dikhawatirkan bahwa tergelincirnya seseorang kepada persaingan dalam maksiat, atau persaingan atas dunia dan perhiasannya. Dan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengingatkan umatnya dari tergelincir ini, beliau bersabda:

إِنِّي فَرَطُكُمْ وَأَنَا شَهِيْدٌ عَلَيْكُمْ وَإِنِّي وَاللهِ َلأَنْظُرُ إِلَى حَوْضِي اْلآنَ وَإِنِّي قَدْ أُعْطِيْتُ مَفَاتِيْحَ اْلأَرْضِ وَإِنِّي وَاللهِ مَا أَخَافُ عَلَيْكُمْ أَنْ تُشْرِكُوْا بَعْدِي وَلكِنِّي أَخَافُ عَلَيْكُمْ أَنْ تَنَافَسُوْا فِيْهَا

Sesungguhnya aku mendahului kamu, dan aku menjadi saksi atasmu, dan sesungguhnya aku –demi Allah- melihat telagaku sekarang, dan sesungguhnya aku telah diberikan kunci-kunci perbendaharaan bumi, dan sesungguhnya aku –demi Allah- tidak khawatir bahwa kamu berbuat syirik sesudahku, akan tetapi aku khawatir atasnya bahwa kamu bersaing padanya.”[11]

Dan tatkala Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat bersegeraannya manusia saat mengetahui datangnya Abu Ubaidah Radhiyallahu anhu dengan membawa harta dari Yaman, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada mereka:

…فَوَاللهِ مَاالْفَقْر أَخْشَى عَلَيْكُمْ وَلكِنْ أَخْشَى عَلَيْكُمْ أَنْ تُبْسَطَ عَلَيْكُمُ الدُّنْيَا كَمَا بُسِطَتْ عَلَى مَنْ قَبْلَكُمْ فَتَنَافَسُوْهَا كَمَا تَنَافَسُوْهَا وَتُلْهِيْكُمْ كَمَا أَلْهَتْهُمْ

Maka demi Allah, bukanlah kemiskinan yang kukhawatirkan terhadapmu, akan tetapi aku khawatir dibukakan dunia terhadapmu sebagaimana telah dibukakan terhadap umat sebelum kamu, lalu kamu bersaing sebagaimana mereka telah bersaing, dan melalaikan kamu sebagaimana telah melalaikan mereka.”[12]

Sesungguhnya masyarakat yang urusannya adalah persaingan yang mulia, anak kecil berlomba untuk ikut serta dalam berperang, para wanita  bersaing untuk membantu para mujahidin, manusia bersaing untuk menghapal al-Qur`an dan mengamalkan sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan ketika suasana seperti ini sudah hilang, jadilah persaingan dalam memperbanyak harta benda dan dalam kerancuan segala yang baru.

Dan yang lebih berbahaya dari semua ini adalah persaingan orang-orang malas dan bodoh, yang menunggu dilimpahkan nikmat Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada mereka, di atas kebodohan dan lemahnya semangat mereka. Dan sekalipun nikmat ini tidak meliputi mereka, mereka tetap duduk. Mereka hanya digerakkan oleh semangat jahat untuk melakukan tipu daya kepada orang-orang bekerja, dengki terhadap orang yang mendahului mereka, dan dendam terhadap orang yang diberikan Allah Subhanahu wa Ta’ala nikmat kepada mereka. dan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memberi peringatan dengan sabdanya:

دَبَّ إِلَيْكُمْ دَاءُ اْلأُمَمِ قَبْلَكُمْ: الحَسَدُ وَالْبَغْضَاءُ, وَالْبَغْضَاءُ هِيَ الْحَالِقَةُ, حَالِقَةُ الدِّيْنِ لاَ حَالِقَةُ الشَّعْرِ, وَالَّذِي نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ لاَ تُؤْمِنُوْا حَتَّى تَحَابُّوْا. أَفَلاَ أُنَبِّئُكُمْ بِشَيْءٍ إِذاَ فَعَلْتُمُوْهُ تَحَابَبْتُمْ؟ أَفْشُوْا السَّلاَمَ بَيْنَكُمْ

Telah menular kepadamu penyakit umat-umat sebelum kamu: dengki dan kebencian, dan kebencian ialah yang mencukur, mencukur agama, bukan mencukur rambut. Demi Allah Subhanahu wa Ta’ala yang diri Muhammad berada di tangan-Nya, kamu tidak beriman sehingga kamu saling mencintai. Maukah kamu kukabarkan sesuatu yang apabila kamu lakukan kamu saling mencintai? Tebarkanlah salam di antara kamu.”[13]

Salam yang sebenarnya adalah memberikan kesenangan hati, dan tidak ada penghormatan itu melainkan hanya salah satu indikasinya.

Ketika tersebar jalur persaingan dalam kebaikan, seseorang tidak mengintai-intai kecuali kepada orang yang berada di atasnya dari sisi wara’ dan ibadah, dakwah dan jihad. Dan orang-orang yang menoleh kepada nikmat yang diberikan Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada sebagian hamba-Nya, lalu ia ingin berlomba memperbanyak harta benda dunia, atau memandang kepada mereka dengan pandangan hasad, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengingatkan mereka dengan sabdanya:

اُنْظُرُوْا إِلَى مَنْ أَسْفَلَ مِنْكُمْ وَلاَ تَنْظُرُوْا إِلَى مَنْ هُوَ فَوْقَكُمْ, فَإِنَّهُ أَجْدَرُ أَنْ لاَ تَزْدِرُوْا نِعْمَةَ اللهِ عَلَيْكُمْ

Lihatlah kepada orang yang di bawah kamu (dari sisi kehidupan dunia), dan jangan engkau melihat kepada orang yang berada di atasmu, maka sesungguhnya ia lebih pasti bahwa kamu tidak menghinakan nikmat Allah Subhanahu wa Ta’ala kepadamu.”[14]

Di antara perkataan para ulama yang dikutip an-Nawawi rahimahullah dalam memahami hadits di atas, Ibnu Jarir rahimahullah dan yang lainnya berkata: ‘Hadits ini menggabungkan semua jenis kebaikan, karena apabila manusia melihat orang yang diberi kelebihan atasnya dalam urusan dunia, nafsunya meminta seperti itu dan menganggap sepele nikmat Allah Subhanahu wa Ta’ala yang ada di sisinya, sangat bernafsu untuk menambah untuk menyusul hal itu atau mendekatinya. Inilah realita mayoritas manusia. Adapun apabila ia melihat dalam urusan dunia kepada orang yang lebih rendah darinya, nampaklah atasnya nikmat Allah Subhanahu wa Ta’ala kepadanya, maka ia bersyukur dan merasa rendah diri, serta melakukan kebaikan padanya.[15] Manusia dalam golongan inilah yang diisyaratkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam saat ditanya:

أَيُّ النَّاسِ أَفْضَلُ؟ قَالَ: كُلُّ مَخْمُوْمِ الْقَلْبِ صَدُوْقُ اللِّسَانِ؟ قَالُوْا: صَدُوْقُ اللِّسَانِ نَعْرِفُهُ, فَمَا مَخْمُوْمُ الْقَلْبِ؟ قَالَ: هُوَ التَّقِيُّ النَّقِيُّ, لاَ إِثْمَ فِيْهِ وَلاَ بَغْيَ وَلاَ غِلَّ وَلاَحَسَدَ.

Manusia apakah yang paling utama? Beliau menjawab, ‘Setiap orang yang makhmum hatinya, benar lisannya.’ Mereka berkata, ‘Benar lisannya, kami mengetahuinya, apakah maksud makhmum hatinya? Beliau menjawab, ‘Yaitu orang yang taqwa, bersih, tidak ada dosa padanya, tidak ada zalim, tidak ada penipuan, dan tidak ada kedengkian.”[16]

Dan tidak sempurna iman di hati orang yang terseret persaingan tidak terpuji kepada sifat kedengkian, sebagaimana dalam sabdanya Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

…لاَ يَجْتَمِعَانِ فِى قَلْبِ عَبْدٍ: الاِيْمَانُ وَالْحَسَدُ

Ada dua perkara yang keduanya tidak bisa berkumpul di hati hamba: iman dan sifat dengki.”[17]

Dan tidaklah disyari’atkan berlindung “dari kejahatan orang yang dengki, apabila ia dengki” kecuali hal itu mendorongnya bersaing secara tidak sehat; berupa tipu daya dan makar. Dan tidak adalah dosa orang yang didengki kecuali karena Allah Subhanahu wa Ta’ala telah memberikan karunia kepadanya dengan sebagian nikmat-Nya, atau memberi taufik kepadanya untuk memanfaatkan waktu dan kemampuannya, sehingga ia berhasil melangkah lebih ke depan dan menjadi bahan pandangan orang lain. Asy-Syaukani berkata: Dan pengertian ‘apabila ia dengki’, apabila ia menampakkan kedengkian yang ada di hatinya dan mengamalkan tuntutannya, dan kedengkian mendorongnya melakukan kejahatan kepada yang didengki.[18]

Ingatlah cerita kedua putra Adam Alaihissallam dalam firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

وَاتْلُ عَلَيْهِمْ نَبَأَ ابْنَىْ ءَادَمَ بِالْحَقِّ إِذْ قَرَّبَا قُرْبَانًا فَتُقُبِّلَ مِنْ أَحَدِهِمَا وَلَمْ يُتَقَبَّلْ مِنَ اْلأَخَرِ قَالَ لأَقْتُلَنَّكَ

Ceritakanlah kepada mereka kisah kedua putera Adam (Habil dan Qabil) menurut yang sebenarnya, ketika keduanya mempersembahkan korban, maka diterima salah seorang dari mereka berdua (Habil) dan tidak diterima dari yang lain(Qabil). Ia berkata (Qabil):”Aku pasti membunuhmu!”.[al-Maidah5:27]

Dan orang yang beruntung adalah yang ditetapkan Allah Subhanahu wa Ta’ala bahwa ia tidak membalas kejahatan dengan kejahatan, seperti yang dilakukan oleh putra Adam Alaihissallam yang pertama ketika ia berkata:

لَئِن بَسَطْتَ إِلَيَّ يَدَكَ لِتَقْتُلَنِي مَآأَنَا بِبَاسِطٍ يَدِيَ إِلَيْكَ لأَقْتُلَكَ إِنِّي أَخَافُ اللهَ رَبَّ الْعَالَمِينَ

Sungguh kalau kamu menggerakkan tanganmu kepadaku untuk membunuhku, aku sekali-kali tidak akan menggerakkan tanganku kepadamu untuk membunuhmu. Sesungguhnya aku takut kepada Allah, Rabb seru sekalian alam”.[Al-Maidah/5 : 28]

Dan terus berulang cerita pada keturunan Adam Alaihissallam tentang kedengkian atas dunia, atau cemburu karena kepentingan semu (ilusi) atau karena sebab yang lain.

Dan di antara pintu kejatuhan dalam persaingan tidak mulia: yaitu yang terjadi di antara teman sejawat dari para ahli satu disiplin ilmu, atau satu profesi, atau kedudukan sosial, atau kedudukan di kantor… Di mana setiap orang menungguh-nunggu kejatuhan yang lain, padahal sebaiknya adalah menggunakan fikiran dan bekerja dengan sungguh-sungguh untuk memberikan yang terbaik.

Di antara berita gembira dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk mereka yang berlomba dalam persaingan yang mulia dan bebas dari sifat hasud: sesungguhnya mereka adalah golongan pertama yang memasuki surga:

قُلُوْبُهُمْ عَلَى قَلْبِ رَجُلٍ وَاحِدٍ, لاَتَبَاغُضَ بَيْنَهُمْ وَلاَتَحَاسُدَ

Hati mereka di atas hati seorang laki-laki (semuanya satu hati dan sikap), tidak ada rasa benci di antara mereka dan tidak kedengkian.”[19]

Kesimpulan:

  1. Perbedaan di antara manusia adalah persoalan taqdir dan alami.
  2. Persaingan yang mulia menggerakkan semangat menuju kebaikan.
  3. Para sahabat telah memberikan contoh terbaik dalam persaingan mulia yang sehat.
  4. Bahaya berubahnya persaingan menjadi kedengkian.
  5. Sifat hasud terjadi setelah terbukanya dunia.
  6. Masyarakat bersih adalah yang meratanya persaingan yang mulia.
  7. Iman dan hasud tidak bisa bergabung dalam satu hati.
  8. Kejahatan orang yang hasad adalah karena kedengkian yang mendorongnya melakukan tipu daya.
  9. Golongan pertama yang memasuki surga adalah yang ‘tidak ada kebencian di antara mereka dan tidak ada kedengkian. Wallahu A’lam.

[Disalin dari  الشجاعةفاستبقوا الخيرات  Penulis : Mahmud Muhammad al-Khazandar, Penerjemah : Muhammad Iqbal Ghazali, Editor : Eko Haryanto Abu Ziyad. Maktab Dakwah Dan Bimbingan Jaliyat Rabwah. IslamHouse.com 2009 – 1430]
______
Footnote
[1] Shahih al-Bukhari, kitab keutamaan al-Qur`an, bab ke-20, hadits no. 5026.
[2] Fath al-Bari 1/167, dari Syarh bab 15, dari kitab Ilmu.
[3] Shahih al-Bukhari, kitab keutamaan al-Qur`an, bab ke-20, hadits no.5026.
[4] Shahih Sunan Ibnu Majah karya Syaikh al-Albani, al-Muqaddimah, bab ke-11, hadits no. 114/138
[5] Musnad Ahmad, 1/38, dari Umar bin al-Khaththab t, dan Ahmad Syakir menshahihkan isnadnya dalam ta’liqnya terhadap musnad (265).
[6] Shahih Sunan at-Tirmidzi, kitab al-Manaqib, bab ke-41, hadits 2902/3939 (Hasan).
[7] Syarh Shahih Muslim  18/308 dari Syarh hadits no.7 dari kitab Zuhud.
[8] Al-Jami’ li Ahkamil Qur’an 2/71 dari tafsir surah al-Baqarah: 109
[9] Shahih Muslim, kitab Zuhud, bab ke-7, hadits no. 2962.
[10] Shahih al-Bukhari, kitab adab, bab 57, hadits no.6064.
[11] Shahih al-Bukhari, kitab ar-Riqaaq, bab ke-7, hadits no. 6426
[12] Shahih al-Bukhari, kitab ar-Riqaaq, bab ke-7, hadits no. 6425.
[13] Musnad Ahmad 1/165 dan dihasankan oleh syaikh al-Albani dalam Shahih Sunan at-Tirmidzi no. 2038/2641 dan dihasankan aleh Syaikh al-Arna`uth (Jami’ al-Ushul 3/626).
[14]  Shahih Muslim, kitab Zuhud, hadits 9/2963.
[15] Syarh an-Nawawi terhadap Shahih Muslim 9/308-309, syarh hadits ke-9 dari kitab Zuhud.
[16] Shahih Sunan Ibnu Majah karya Syaikh al-Albani, kitab zuhud, bab ke-24, hadits no. 3397/4216 (Shahih).
[17] Shahih Sunan an-Nasa`i karya Syaikh al-Albani, kitab zuhud, bab ke-8, hadits no.2912.
[18]  Fath al-Qadir karya asy-Syaukani 5/521 saat menafsirkan surah al-Falaq.
[19]  Shahih al-Bukhari, kitab permulaan wahyu, bab ke-8, hadits no. 3254.


Artikel asli: https://almanhaj.or.id/57730-persaingan-yang-mulia.html